Sabtu, 29 September 2012

 NAMA : REGINA LISTYA KARTIKASARI
NPM : 25210709
KELAS : 3EB20
TULISAN
DOSEN : BAPAK EDY PRIHANTORO

9 PERUSAHAAN AMERIKA YANG TERANCAM TUTUP


Banyak perusahaan Amerika Serikat (AS) yang mampu meraih kejayaannya tak kurang dari satu dekade. Biasanya, perusahaan ini mampu menjadi pemimpin pasar di industrinya, selalu mengeluarkan inovasi baru, pertumbuhan fenomenal, serta mengalami lonjakan harga saham.

Dua perusahaan yang bisa menjadi contoh dari kasus tak biasa itu adalah Google Inc dan Apple Inc.

Sayangnya, nasib berbeda justru dialami oleh perusahaan yang sebelumnya sempat merajai di kelasnya. Sebut saja, AMR, Borders, dan Kodak.

Benang merah di antara perusahaan yang berkembang menjadi fenomenal dan terjerembab bangkrut adalah hadirnya sosok pimpinan yang membawa ke puncak kejayaan, namun gagal pada periode berikutnya.

Para eksekutif ini umumnya berupaya mencari strategi terbaik bahkan membentuk manajemen baru. Sayangnya, bagi perusahaan yang akhirnya ambruk, kesempatan untuk perbaikan tersebut telah hilang begitu saja.

Dikutip dari laman 24wallst, berikut adalah sembilan perusahaan raksasa AS yang diprediksi punah dan hilang dari radar perusahaan negara Adidaya.

Daftar ini dibuat berdasarkan pergerakan saham dan kinerja keuangan. Lebih spesifik lagi, perusahaan dalam daftar ini merupakan emiten dalam indeks S&P 500 dan sebagian besar mengalami kerugian cukup besar bahkan harga sahamnya telah anjlok 50 persen.

Berikut adalah sembilan perusahaan tersebut:

1. J.C. Penney Company Inc

Perusahaan yang didirikan pada 1913 ini sebelumnya pernah menjadi pemain utama industri ritel AS selama beberapa dekade. Namun, di bawah Chief Executive Officer (CEO) Myron Ullman III yang mengambil alih pada 2004, pendapatan perusahaan ini mulai merosot.

Pendapatan perusahaan sebesar US$19,9 miliar pada 2007 harus merosot menjadi US$17,3 miliar pada 2011. Keuntungan yang semula US$1,1 miliar harus berganti menjadi rugi US$152 juta pada periode yang sama.

Untuk harga saham, perusahaan berkode JCP ini telah mengalami penurunan hingga 70 persen dalam lima tahun. Kondisi berbeda justru dialami pesaingnya Marcy's Inc dan Target Corp yang bergerak stagnan.

JP Penney tampaknya tak mampu bersaing dengan perusahaan sejenis seperti Wal-Mart Stores dan Costso Wholesale Corp.

Ambruknya kinerja perusahaan ini dimulai ketika CEO baru mulai menjalankan bisnisnya. Upaya restrukturisasi harga yang dilakukan perusahaan justru menjadi bumerang bagi kelangsungan hidup JC Penney.

2. The New York Times Co

Selama beberapa dekade, penerbit koran The New York Times Company merajai industri media AS. Namun, seiring waktu, kejatuhan bisnis tak bisa dihindarinya.

Pada 10 tahun lalu, perusahaan mampu mencetak untung US$300 juta dari pendapatan US$3,1 miliar. Namun, tahun lalu, New York Times justru mengantongi rugi US$40 juta dari pendapatan US$2,3 miliar.

New York Times tampaknya lamban masuk dalam bisnis online di tengah derasnya erosi industri media cetak. Mereka kalah cepat dari The Huffington Post, Google News, dan portal penyedia berita seperti MSN, AOL, dan Yahoo.

Hal ini juga terlihat dari harga saham perusahaan yang terus merosot, di mana kapitalisasi pasar anjlok ke level US$1,2 miliar dari pendapatan US$2,3 miliar. Harga saham perusahaan juga turun 57 sen di tengah kenaikan laba 5 persen pada 2011.

New York tampaknya tak mampu menunjukkan kinerja pertumbuhan signifikan, meski telah masuk ke dunia digital.

3. Groupon Inc

Groupon tampaknya bukan kandidat yang layak masuk daftar perusahaan berkinerja terbaik. Salah satu alasannya, harga saham Groupon telah anjlok 70 persen sejak IPO pada November 2011.

Salah satu masalah utama Groupon adalah bisnis kupon online telah menjadi sebuah komoditas. Tak sulit bagi kompetitor seperti Wal-Mart dan Amazon untuk masuk dalam industri ini.

Groupon merupakan pemain utama dalam bisnis ini ketika pertama kali beroperasi pada 2009 dan mencetak pendapatan US$15 juta. Tahun lalu, pendapatan bahkan naik menjadi US$1,6 miliar, kendati harus dengan upaya keras. Upaya ekspansi bisnis Groupon harus dibayar dengan biaya yang cukup besar.

Di industri sejenis, Groupon harus bersaing dengan LivingSocial yang mendapat pembiayaan dari raksasa Amazon. Begitu pula Google yang mulai memperkenalkan produknya, Google Offers.

4. Sprint Nextel Corp

Meski mencetak kinerja memuaskan dalam beberapa waktu terakhir, hal ini tampaknya tak mengurangi kekhawatiran Sprint Nextel untuk mampu bersaing di bisnis wireless. Perusahaan sulit bersaing dengan AT&T dan Verizon Wireless.

Pendapatan Sprint tercatat meningkat signifikan pada 2006 dibandingkan 2002. Selama periode itu, penjualan perusahaan naik dari US$15,2 miliar menjadi US$41 miliar.

Kesalahan utama Sprint adalah ketika memutuskan membeli Nextel pada akhir 2004. Perusahaan harus membayar US$35 miliar untuk membeli perusahaan yang menjalankan platform berbeda dari bisnis Sprint. Akibatnya, konsumen perlahan meninggalkan Nextel

 5. Barnes & Noble Inc

Penyebab ambruknya bisnis Barnes & Noble bisa digambarkan dalam satu kata, Amazon. Pada 2002, Barnes & Noble mencetak penjualan US&109 juta dan saat bersamaan Amazon mencetak rugi US$149 juta dari pendapatan US$3,9 miliar.

Melangkah ke 2011, pendapatan Amazon mencapai US$48,1 miliar dengan laba US$631 juta. Sedangkan Barnes & Noble justru merugi US$69 juta dari pendapatan US$7,1 miliar.

Amazon melangkah maju dengan menjual perlengkapan elektronik dan produk video streaming serta tetap mempertahankan posisinya sebagai situs penjualan buku terbesar di dunia.

Dalam laporan April, Barnes telah mengoperasikan 1,338 toko buku di 50 negara termasuk 647 tokok buku di sejumlah kampus. Tentunya, aset tersebut membutuhkan penanganan, biaya sewa dan personil. Barnes & Noble mengakui semakin matangnya stok ritel tradisional merupakan salah satu risiko dan bisnis mereka.

6. Zynga Inc

Perusahaan permainan media sosial, Zynga, telah mengeluarkan dana besar untuk menjadi pemain terbesar dalam industri ini. Tak heran pendapatannya naik dari US$19,4 juta pada 2008 menjadi US$1,14 miliar tahun lalu. Sayangnya, perusahaan justru mereguk rugi hingga US$404 juta pada 2011.

Investor tampaknya mulai khawatir dengan posisi perusahaan yang hanya menawarkan permainan gratis dan premium dengan platform Facebook.

Untuk sesaat sukses model bisnis ini memang menakjubkan. Laporan terakhir menyebutkan, Zynga memiliki 192 juta pengunjung tetap, naik 27 persen. Namun, seiring membesarnya jumlah permainan virtual, biaya perawatan perusahaan juga ikut membengkak.

Kondisi perusahaan yang terus tertekan membuat saham Zynga melemah ke level US$3 dari harga tertingginya US$15,91 per lembara saham. Persoalan yang dihadapi Zynga tampaknya lebih kompleks dan permanen dibandingkan keterlambatan peluncuran permainan terbarunya.

7. Dell Inc

Dell tampaknya mendapatkan pukulan keras dari bisnis telepon pintar (Smartphone) dan komputer personal (PC). Kondisi ini terjadi tak lama setelah manajemen mengambil keputusan yang buruk, ditambah tumbuhnya industri manufaktur Asia yang telah mengambil pangsa pasar Dell secara signifikan.

Dell merupakan salah satu perusahaan yang mendapat untung dari pembuatan PC dari IBM. Namun, IBM justru memutuskan menjual unit bisnis PC ke perusahaan China, Lenovo pada akhir 2004.

Akibatnya, industri PC terbagi ke dalam dua bentuk transpformasi yaitu konsolidasi perusahaan yang ada seperti HP membeli Compaq dan Acer membeli Gateway. Bentuk lain adalah berkembangnya bisnis PC dari Asia seperti Asus, Acer, dan Lenovo. Semua perusahaan ini kini menghadapi tantangan besar yaitu PC dianggap sebagai sebuah komoditas dan harga menjadi faktor utamanya.

8. Advance Micro Devices Inc (AMD)

Laporan keuangan AMD menunjukkan bagaimana buruknya kinerja perusahaan. Pendapatan tahunan turun 10 persen ke level US$1,4 miliar. Padahal, AMD sebelumnya terkenal sebagai pesaing utama Intel Corp dalam bisnis chip komputer.

Namun, tak hanya itu masalah yang menimpa AMD. Perusahaan yang telah membeli perusahaan pembuat chip grafis, ATI, seharga US$5,4 miliar juga harus bersaing dengan perusahaan sejenis. Langkah akusisi ini menghasilkan kondisi AMD yang terlilit utang dan hampir tak bisa melakukan apa-apa untuk meningkatkan kekayaannya.

Tantangan terbesar AMD mungkin akan berasal dari pasar PC yang mulai beralih ke produk tablet dan telepon pintar.

9. Bank of Amerika Corp

Sebagian besar operasional Bank of America kali ini tercipta dari berbagai langkah merger dan akuisisi perusahaan lain. Aksi korporasi ini banyak dilakukan oleh Ken Lewis, yang menjabat CEO pada 2001. Pada 2007, dia berhasil membawa Bank of Amerika menjadi bank terbesar dalam hal aset.

Namun, Lewis terus berambisi untuk membuat perusahaan ini lebih besar lagi. Di tengah kehancuran sistem keuangan AS, Bank of America akhirnya terlilit masalah surat utang. Saking besarnya masalah yang dihadapi, membuat perusahaan harus mengambil dana Troubled Asset Relief Program (TARP) lebih banyak dibandingkan perbankan AS lain.

Usai Lewis didepak dari kursi CEO, masalah tak lantas berhenti. Bank of America kini malah dihadapkan pada pilihan untuk memberhentikan 30 ribu pegawainya serta menghadapi berbagai tuntutan hukum terkait surat utang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar