NAMA : REGINA LISTYA KARTIKASARI
KELAS : 4EB20
NPM : 25210709
TUGAS KE
12
A.
BENTURAN KEPENTINGAN
Benturan
kepentingan adalah perbedaan antara kepentingan ekonomis perusahaan dengan
kepentingan ekonomis pribadi direktur, komisaris, atau pemegang saham utama
perusahaan.
Perusahaan
menerapkan kebijakan bahwa personilnya harus menghindari investasi, asosiasi
atau hubungan lain yang akan mengganggu, atau terlihat dapat mengganggu, dengan
penilaian baik mereka berkenaan dengan kepentingan terbaik perusahaan. Sebuah
situasi konflik dapat timbul manakala personil mengambil tindakan atau memiliki
kepentingan yang dapat menimbulkan kesulitan bagi mereka untuk melaksanakan
pekerjaannya secara obyektif dan efektif.
Benturan
kepentingan juga muncul manakala seorang karyawan, petugas atau direktur, atau
seorang anggota dari keluarganya, menerima tunjangan pribadi yang tidak layak
sebagai akibat dari kedudukannya dalam perusahaan. Apabila situasi semacam itu
muncul, atau apabila individu tidak yakin apakah suatu situasi merupakan
benturan kepentingan, ia harus segera melaporkan hal-hal yang terkait dengan
situasi tersebut kepada petugas kepatuhan perusahaan. Apabila manajemen senior
perusahaan menetapkan bahwa situasi tersebut menimbulkan benturan kepentingan,
mereka harus segera melaporkan benturan kepentingan tersebut kepada komite
pemeriksa.
Berikut
ini merupakan berberapa contoh upaya perusahaan / organisasi dalam menghindari
benturan kepentingan :
1.
Menghindarkan diri dari tindakan dan situasi yang dapat menimbulkan benturan
kepentingan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan perusahaan.
2.
Mengusahakan lahan pribadi untuk digunakan sebagai kebun perusahaan yang dapat
menimbulkan potensi penyimpangan kegiatan pemupukan.
3.
Menyewakan properti pribadi kepada perusahaan yang dapat menimbulkan potensi
4.penyimpangan kegiatan pemeliharaan.
B.
ETIKA DALAM TEMPAT KERJA
Dalam
pandangan rasional tentang perusahaan, kewajiban moral utama pegawai adalah
untuk bekerja mencapai tujuan perusahaan dan menghindari kegiatan-kegiatan yang
mungkin mengancam tujuan tersebut. Jadi, bersikap tidak etis berarti menyimpang
dari tujuan-tujuan tersebut dan berusaha meraih kepentingan sendiri dalam
cara-cara yang jika melanggar hukum dapat dinyatakan sebagai salah satu bentuk
“kejahatan kerah putih”.
Adapun
beberapa praktik di dalam suatu pekerjaan yang dilandasi dengan etika dengan
berinteraksi di dalam suatu perusahaan, misalnya:
1. Etika
Terhadap Saingan
Kadang-kadang
ada produsen berbuat kurang etis terhadap saingan dengan menyebarkan rumor,
bahwa produk saingan kurang bermutu atau juga terjadi produk saingan dirusak
dan dijual kembali ke pasar, sehingga menimbulkan citra negatif dari pihak
konsumen.
2. Etika
Hubungan dengan Karyawan
Di dalam
perusahaan ada aturan-aturan dan batas-batas etika yang mengatur hubungan
atasan dan bawahan, Atasan harus ramah dan menghormati hak-hak bawahan,
Karyawan diberi kesempatan naik pangkat, dan memperoleh penghargaan.
3. Etika
dalam hubungan dengan publik
Hubungan
dengan publik harus dujaga sebaik mungkin, agar selalu terpelihara hubungan
harmonis. Hubungan dengan public ini menyangkut pemeliharaan ekologi, lingkungan
hidup. Hal ini meliputi konservasi alam, daur ulang dan polusi. Menjaga
kelestarian alam, recycling (daur ulang) produk adalah uasha-usaha yang dapat
dilakukan perusahaan dalam rangka mencegah polusi, dan menghemat sumber daya
alam.
C.
AKTIVITAS BISNIS INTERNASIONAL - MASALAH BUDAYA
Seorang
pemimpin memiliki peranan penting dalam membentuk budaya perusahaan. Hal itu
bukanlah sesuatu yang kabur dan hambar, melainkan sebuah gambaran jelas dan
konkrit. Jadi, budaya itu adalah tingkah laku, yaitu cara individu bertingkah
laku dalam mereka melakukan sesuatu.
Tidaklah
mengherankan, bila sama-sama kita telaah kebanyakan perusahaan sekarang ini.
Para pemimpin yang bergelimang dengan fasilitas dan berbagai kondisi kemudahan.
Giliran situasinya dibalik dengan perjuangan dan persaingan, mereka mengeluh
dan malah sering mengumpat bahwa itu semua karena SDM kita yang tidak kompeten
dan tidak mampu. Mereka sendirilah yang membentuk budaya itu (masalah budaya).
Semua karena percontohan, penularan dan panutan dari masing-masing pemimpin.
Maka timbul paradigma, mengubah budaya perusahaan itu sendiri.
Budaya
perusahaan memberi kontribusi yang signifikan terhadap pembentukan perilaku
etis, karena budaya perusahaan merupakan seperangkat nilai dan norma yang
membimbing tindakan karyawan. Budaya dapat mendorong terciptanya prilaku. Dan
sebaliknya dapat pula mendorong terciptanya prilaku yang tidak etis.
D.
AKUNTABILITAS SOSIAL
Akuntabilitas
sosial sering kali diartikan menjadi sebuah pendekatan yang menempatkan kontrak
sosial sebagai sebuah instrumen dasar dalam mengembangkan prinsip akuntabilitas
dari praktek pemerintahan.
Guna
mewujudkan maksimalisasi kinerja akuntabilitas sosial, secara umum, terdapat
sejumlah faktor yang sering dijadikan sebagai prasyarat pokok bagi pelaksanaan
akuntabilitas sosial. Faktor-faktor tersebut, antara lain:
1.
Keberadaan Mekanisme yang Menjembatani Hubungan antara Negara dan Masyarakat
Usaha
untuk mewujudkan sebuah akuntabilitas sosial dalam praktek pemerintahan, banyak
bertumpu pada ada tidaknya sejumlah mekanisme yang mampu menjembatani hubungan
antara negara dan masyarakat. Mekanisme ini mempunyai makna strategis, sebab,
pertukaran informasi, dialog dan negosiasi dapat dilakukan oleh berbagai elemen
baik dari negara maupun dari masyarakat melalui sejumlah mekanisme tersebut.
Keberadaan mekanisme yang menjembatani hubungan negara dan masyarakat, di
tingkatan operasional, dapat dijadikan sebagai instrumen untuk memperkenalkan
cara-cara baru, kesempatan-kesempatan baru serta program-program baru bagi
interaksi negara dan masyarakat yang sederhana dan efektif. Selain itu,
keberadaan mekanisme ini juga bisa digunakan untuk memperbaiki, memperbarui
serta mereformasi berbagai mekanisme, sistem dan aktor yang telah ada dan
dianggap usang. Contoh kongkret dari mekanisme yang menjembatani hubungan
antara negara dan masyarakat adalah keberadaan Dinas Komunikasi dan Informasi
dari setiap Pemerintah Kabupaten dan Kota. Dinas ini dibentuk tidak untuk
pengendalian informasi, namun sebaliknya, justru untuk meniadakan informasi
yang asimetris antara negara dan masyarakat.
2.
Keinginan dan Kapasitas dari Warga Negara dan Aktor-aktor Civil Society yang
Kuat untuk Secara Aktif Terlibat dalam Proses Akuntabilitas Pemerintah
Adanya
keinginan dan kapasitas yang kuat dari warga negara dan aktor-aktor Civil
Society untuk terlibat dalam proses akuntabilitas pemerintah merupakan
prasyarat penting bagi terwujudnya akuntabilitas sosial. Dalam aras praksis,
faktor ini acap kali berbenturan dengan sejumlah persoalan seperti: fakta
lemahnya elemen Civil Society dan adanya pemikiran bahwa warga negara kurang
berdaya.
3.
Keinginan dan Kapasitas dari Politisi dan Birokrat untuk Mempertimbangkan
Masyarakat
Keberadaan
faktor ini menjadi demikian penting, sebab, hambatan terbesar bagi perwujudan
akuntabilitas sosial sering kali berasal dari keengganan para politisi dan
birokrat untuk membuka semua informasi serta mendengarkan setiap pendapat
masyarakat. Banyak pengalaman yang menunjukkan bahwa kepekaan politisi dan
birokrat terhadap aspirasi masyarakat dapat merubah pola interaksi antara
negara dan masyarakat. Pada titik ini, pola interaksi kedua elemen tersebut
dapat semakin disinergikan, sehingga terbentuk sebuah pola interaksi yang
bersifat timbal balik antara aktor-aktor baik yang berasal dari negara maupun
masyarakat.
4.
Lingkungan yang Memungkinkan
Maksudnya
adalah proses perwujudan akuntabilitas sosial juga menuntut adanya lingkungan
politik, ekonomi dan budaya yang memadai. Pada ranah politik, sebuah proses
akuntabilitas sosial tidak mungkin berhasil, manakala tidak didukung oleh
keberadaan rejim yang demokratis, adanya sistem multi partai serta pengakuan
legal-formal dari hak-hak sipil dan politik dari warga negara. Demikian juga di
ranah ekonomi dan budaya, sebuah upaya perwujudan akuntabilitas sosial akan
menjadi sia-sia ketika lingkungan sosial dan ekonomi tidak menyediakan
kesempatan bagi warga negara untuk memperoleh akses partisipasi yang sama di
kedua ranah tersebut.
E.
MANAJEMEN KRISIS
Krisis
merupakan keadaan yang tidak stabil dimana perubahan yang cukup menentukan
mengancam, baik perubahan yang tidak diharapkan ataupun perubahan yang
diharapkan akan memberikan hasil yang lebih baik . Sebab Krisis Krisis
terjadi apabila ada benturan kepentingan antara organisasi dengan publiknya.
Secara umum dapat dijelaskan bahwa penyebab krisis adalah : Sebab umum : –
gangguan kesejahtraan dan rasa aman – tanggung jawab sosial diabaikan Sebab
khusus : – kesalahan pengelola yang mengganggu lapisan bawah – penurunan profit
yang tajam – penyelewengan – perubahan permintaan pasar – kegagalan/penarikan
produk – regulasi dan deregulasi – kecelakaan atau bencana alam.
SUMBER :
http://rizal.blog.undip.ac.id/files/2009/07/dipakai_siskom_etika-profesi.pdf
http://www.jakartaconsulting.com/art-11-02.htm
http://disfianoni.blogspot.com/2011/01/etika-dalam-tempat-kerja.html
http://www.jakartaconsulting.com/art-11-02.htm
http://disfianoni.blogspot.com/2011/01/etika-dalam-tempat-kerja.html
OPINI
: Kesimpulannya bahwa sebuah profesi hanya dapat memperoleh
kepercayaan dari masyarakat, jika dalam mereka memiliki etika profesi pada saat mereka ingin
memberikan jasa keahlian profesi kepada masyarakat yang memerlukannya. tanpa
etika profesi, apa yang semula dikenal sebagai sebuah profesi yang terhormat
akan segera jatuh terdegradasi menjadi sebuah pekerjaan pencarian nafkah biasa
yang sedikitpun tidak diwarnai dengan nilai-nilai idealisme dan ujung-ujungnya
akan berakhir dengan tidak adanya lagi respek maupun kepercayaan yang pantas
diberikan kepada para elite profesional ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar