JANGAN SAMAKAN SEMUA KEKERASAN TNI MELANGGAR HAM 
www.gunadarma.ac.id
Nama : Regina Listya Kartikasari
NPM  : 25210709
Kelas: 2EB20
 Menteri  Pertahanan Juwono Sudarsono mengingatkan sekaligus meminta  kepada semua  pihak tidak menyamaratakan dan memaksakan semua jenis  kekerasan oleh  aparat, dalam hal ini terkait Tentara Nasional Indonesia  (TNI), sebagai  suatu bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat.
Tidak cuma itu, Juwono juga menilai tuduhan TNI melakukan pelanggaran   HAM berat di masa lalu, seperti dalam kasus Talangsari di Lampung,   peristiwa Mei 1998, atau kasus penghilangan orang secara paksa tahun   1997-1998, adalah tuduhan yang bersifat anekdotal. Pernyataan itu   disampaikan Juwono, dalam jumpa pers usai membuka Seminar Nasional HAM   dan Pertahanan Negara bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas   Indonesia di Departemen Pertahanan.
Sebagai penyelenggara negara TNI berhak dan berwenang menyelenggarakan   kekerasan negara atau disebut the monopoly of legitimate violence dengan   mengatasnamakan keselamatan bangsa, pengamanan kedaulatan, dan  keutuhan  wilayah.
Sejumlah pihak hadir berbicara, seperti Gubernur Lembaga Ketahanan   Nasional (Lemhannas) Muladi, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik   Universitas Indonesia Edy Prasetyono, Koordinator Kontras Usman Hamid,   dan Kepala Badan Pembinaan Hukum Mabes TNI Laksda Henry Willem.
"Terkait kasus masa lalu, saya tekankan itu kasus anekdotal karena   peristiwa (Talangsari) itu terjadi tidak sistematis atau sengaja menjadi   kebijakan pemerintah Orde Baru. Hal seperti itulah yang harus   di-clear-kan".
Dalam kasus Talangsari, menurut Juwono, masyarakat harus melihat pada   masa itu terdapat upaya sejumlah kelompok mengganti dasar negara dengan   agama tertentu dan mendirikan negara baru. Mereka lalu melakukan   perlawanan bersenjata, yang menewaskan dua orang aparat TNI-Polri.   Negara saat itu mencoba mengamankan.
"Jangan lalu diberitakan seakan-akan ada kesengajaan, upaya sistematis,   dan itu kebijakan (Orba). Harus dilihat konteks saat itu dan   peristiwanya. Sekelompok orang ingin mengganti Pancasila dan mengangkat   senjata lalu membunuh aparat".
Dalam kesempatan yang sama Juwono juga mengingatkan, persoalan HAM harus   dilihat secara utuh, tidak sekadar masalah yang terkait hak sipil dan   politik melainkan juga soal ekonomi, sosial, dan budaya. Semua aspek  itu  harus ada, utuh, dan proporsional. Jangan hitam-putih.
Sementara itu, dalam pidato tertulis yang dibacakan Laksda Henry Willem,   Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso menegaskan bahwa institusinya   selama ini sangat berkomitmen, paham, menghargai, dan menghormati, serta   berkomitmen tinggi pada HAM. Tidak hanya itu, pada hakikatnya  kelahiran  Republik Indonesia juga merupakan bentuk upaya membebaskan  diri dari  penindasan HAM oleh bangsa lain.
Tidak hanya itu, Indonesia juga punya paham perang dan falsafah dasar   pertahanan, yang menegaskan cinta damai, tetapi lebih mencintai   kemerdekaan. Seandainya dalam pelaksanaan (tugas pertahanan) ada yang   dinilai eksesif, melampaui prosedur, dan tidak sesuai harapan bersama,   hal itu adalah hak semua pihak untuk menilai.
"Akan tetapi kami harap, jangan setiap persoalan dibaca hitam-putih   belaka". Pandangan hitam-putih macam itulah yang menurut Djoko hanya   akan menimbulkan cara pandang dan pemahaman yang tidak linear di antara   semua pihak, apalagi mengingat antara HAM dan pertahanan (disingkat  Han)  punya titik berangkat yang sama sekali berbeda.
Menurut Djoko, masalah pertahanan (Han) berangkat dari tugas dan   kewajiban serta terkait apa yang dapat kita berikan maupun korbankan,   sementara masalah HAM lebih terkait masalah hak, dalam arti apa yang   dapat diperoleh.
Tugas konvensional militer dan pertahanan pada umumnya berperang dengan   menggunakan mesin kekerasan untuk berbuat kekerasan terhadap yang   melakukan kekerasan."Jika hal itu dihadap-hadapkan secara hitam-putih   dengan HAM tentunya tidak akan pernah sejalan".
Sementara itu, dalam jumpa pers Muladi juga menambahkan, suatu peristiwa   hanya bisa dikategorikan menjadi pelanggaran HAM berat jika sudah   terbukti kejadian itu bersifat sistematis, meluas, direncanakan, dan   organisasional.
Jika tidak dapat dibuktikan, tambah Muladi, peristiwa itu hanyalah   tindak pidana biasa dan penuntasannya cukup dengan menggunakan Kitab   Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) biasa.
"Kalau tidak bisa dibuktikan, ya gunakan saja KUHP. Batasan soal itu kan   sudah jelas. Jadi jangan dipaksakan harus menjadi pelanggaran HAM  berat  hanya karena menyangkut TNI. Kita harus sportif dan jujur, TNI  juga  sudah melakukan reformasi besar-besaran sejak tahun 1998. Hal itu  sangat  luar biasa".
Lebih lanjut, tambah Muladi, saat ini Indonesia berada dalam paksaan   dunia internasional untuk mengakui aturan yang melarang pemberlakuan   hukum pidana secara retroaktif (surut). Padahal, di dunia internasional   sendiri masih terdapat ambivalensi tentang hal tersebut.
Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2008/12/18/21330044/jangan.samakan.semua.kekerasan.tni.melanggar.ham
Tidak ada komentar:
Posting Komentar